Enter your keyword

06 Agustus 2012

Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan

Dari segi hukum syariatnya, ilmu dapat dibagi menjadi tigakategori, yakni ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari, ilmu yang dilarang untuk dipelajari dan ilmu yang disunnahkan untuk dipelajari.

Ilmu-ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari

Ilmu-ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari dibagi ke dalam dua kategori, yakni yang fardhu ‘ain dan yang fardhu kifayah.

Ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardhu ‘ain adalah semua ilmu yang setiap mukalaf harus di pelajari sendiri.

Sebelum menguraikan kategori ilmu-ilmu yang tergolong fardhu ‘ain ini, terlebih dahulu kita harus memahami kaidah-kaidah dasar yang berkaitan dengannya. Diantaranya adalah kaidah, “sesuatu yang menjadi bagian terpenting bagi sempurnanya sebuah kewajiban, maka ia menjadi wajib.”

Kaidah yang lain adalah, “ilmu itu mangikuti isinya.” Ilmu yang mengantarkan sesuatu kepada yang wajib, hukumnya menjadi wajib. Dan yang mengantarkan kepada yang sunnah menjadi sunnah.

Berpijak pada kaidah-kaidah inim berikut penulis uraikan ilmu-ilmu yang wajib untuk dipelajari oleh setiap mukalaf:
  • Mempelajari akidah ahli sunnah beserta dalil-dalilnya secara global dalam setiap masalah keimanan, agar dia dapat keluar dari jarat taklid dan menjaga imannya dari pengaruh orang-orang kafirdan orang-orang yang sesat yang senantiasa menghambuskan keraguan terhadap imannya.
  • Mempelajari ilmu-ilmu yang menjadikan seorang mukalaf dapat menunaikan ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya, seperti shalat, zakat, haji, puasa dan lainnya.
  • Orang yang melakukan berbagai muamalah, seperti jual beli, sewa-menyewa, pernikahan, perceraiaan dan lainnya, wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, agar dapat menghindari yang haram dan konsisten terhadap aturan-aturan syariat.
  • Mempelajari kondisi-kondisi hati, seperti tawakal, takut dan ridha. Sebab, seorang muslim akan berhadapan dengan kondisi-kondisi hati itu sepanjang umurnya.
  • Mempelajari semua akhlak yang baik dan akhlak yang tercela, agar dia dapat melaksanakan akhlak yang baik, seperti tawakal kepada Allah, ridha kepada-Nya, pasrah kepada-Nya, rendah hati, penyantun dan lainnya, serta menghindari akhlak tercela, seperti sombong, dendam, kikir, dengki, ria dan lainnya Dengan demikian, dia dapat berjuang melawan hawa nafsunya dan meninggalkannya. Hukum berjuang melawan hawa nafsu adalah wajib bagi setiap mukalaf. Dan itu tidak mungkin dapat tercapai kecuali dengan adanya pengetahuan tentang akhlak-akhlak yang terpuji dan yang tercela, serta pengetahuan tentang teknik-teknik berjuang melawan haws nafsunya, sebagaimana diaplikasikan oleh para pemuka sufi.

Oleh karena itu, Abu Hasan asy-Syadzili berkata, "Barangsiapa tidak menyelam dalam ilmu kami ini (tasawuf), maka dia akan mati dalam keadaan melakukan dosa besar, sedang dia tidak menyadarinya."
Kita tahu bahwa dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji ada Yang bersifat lahiriah, seperti zina dan meminum minuman keras, ada yang bersifat batin, seperti sombong dan kemunafikan. Oleh karena itu, Allah melarang kita Bari keduanya, sebagaimana terekam dalam,

"Dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak di maupun yang tersembunyi." (QS. Al-An'am: 151)

Orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji yang tampak akan bertobat, karena dia mengetahui bahayanya. Sedangkan orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji yang tidak tampak, kadang hidup dalam waktu yang lama tanpa berpikir untuk bertobat, karena dia tidak mengetahui hukumnya atau tidak merasakannya.

Sedangkan ilmu-ilmu yang tergolong dalam fardhu kiffiyah adalah semua ilmu yang apabila telah dipelajari oleh sebagian orang, maka kewajiban bagi yang Iainnya gugur. Dan apabila tidak seorang pun mempelajarinya, semua berdosa.

Ilmu-ilmu yang tergolong fardhu kifayah adalah ilmu-ilmu yang kebaikan umat bergantung padanya, seperti mendalami ilmu fikih di atas kadar kebutuhan.77 Demikian juga ilmu tafsir, hadis, usul fikih, akidah, ilmu hisab, ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu persenjataan dan Iainnya.

Ilmu-ilmu yang dilarang untuk dipelajari
  • Mendalami aliran-aliran sesat, pemikiran-pemikiran yang meragukan dan akidah-akidah yang menyimpang, bukan dengan niat untuk membantah dan menghalau bahayanya. Adapun mempelajarinya untuk menjelaskan penyimpangannya dan membantah penyelewangannya dengan tujuan untuk memperbaiki akidah dan membela agama, maka hukumnya adalah fardhu kifayah.
  • Mempelajari ilmu nujum untuk mengetahui tempat barang yang dicuri, harta karun, binatang yang hilang dan Iainnya, adalah bagian dari perdukunan. Dan syariat telah melarang dan mengharamkannya. Sedangkan mempelajari ilmu nujum untuk tujuan studi ilmiah, serta untuk mengetahui waktu-waktu shalat dan kiblat, maka itu dibolehkan.
  • Mempelajari ilmu sihir. Tapi mempelajarinya untuk menjaga diri dan sihir hukumnya boleh, sebagaimana ungkapan seorang penyair,
Aku mengetahui kejaharan bukan untuk kejahatan, tapi untuk menghindarinya siapa yang tidak mengetahui kejahatan, maka dia akan terjerumus ke dalamnya

Ilmu-ilmu yang sunnah untuk dipelajari

Di antaranya, mempelajari keutamaan amal-amal jasmani dan amal-amal hati, mempelajari amal-amal yang sunnah dan yang makruh, mempelajari amal-amal fardhu mendalami ilmu-ilmu fikih dan cabang-cabangnya, mendalami akidah dan dalil-dalilnya secara detail dan lain sebagainya

Dari uraian di atas, jelaslah hukum menuntut ilmu dan arti pentingnya di dalam Islam. Sikap para pemuka sufi terhadap ilmu merupakan perkara yang jelas dan tidak memerlukan penjelasan lagi. Mereka adalah ahli ilmu dan ahli makrifat. Mereka adalah orang-orang memiliki hati yang bersinar dan jiwa yang berseri-seri. Dan orang-orang yang ingin mengaktualisasikan iman, Islam dan ihsan dalam diri mereka. Setelah mereka memperoleh ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, mereka mengaplikasikannya dalam amal. Lalu mereka memperbaiki hati, mensucikan jiwa dan memurnikan niat untuk menghadap kepada Allah. Oleh karena itu, Allah memuliakan mereka dengan ridha-Nya, makrifat-Nya dan ampunan-Nya.

77 Oleh sebab itu, di setiap negara harus ada seorang mufti yang menjadi refrensi dalam perkara agama, dan melaksanakan fardhu kifayah ini agar gugur kewajiban bagi yang lain.

Sumber : Buku Hakekat Tasawuf oleh Syaikh ‘Abudul Qadir Isa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar